Rabu, 08 Juli 2015
MERPATI TANPA SAYAP
Namaku Lusi, Ilusi maya. Kalian mungkin tengah berpikir bahwa aku memiliki nama yang aneh, aku pun juga demikian. Saat aku duduk di bangku taman kanak-kanak, aku tak pernah memikirkan apa arti namaku, yang kutahu, namaku indah, sungguh indah.
Namun, waktu membisikkan padaku tentang arti namaku pada saat aku duduk di bangku kelas lima sekolah dasar. Saat itu aku tengah membuka kamus bahasa indonesia, betapa terkejutnya aku ketika terdapat kata Ilusi, yang artinya tipuan. Sedangkan maya artinya tidak nyata.
kupeluk kamus itu dengan pikiran yang terus melayang. Ilusi maya, tipuan yang tidak nyata, atau bisa disimpulkan aku ini tak pernah ada. Akupun tak pernah tahu siapa ayahku dimana beliau sekarang.
Usiaku saat itu baru 11 tahun, aku takut bertanya pada ibu, aku takut ibu memukulku lagi, aku takut memar dipunggungku akan bertambah.
ibuku seorang yang ringan tangan.menurut bahasa metafora, ringan tangan berarti suka menolong. Tapi, ungkapan ini tak berlaku untuk ibuku. Ringan tangan yang dimiliki ibuku adalah sikap suka memukul, sehingga mengurungkan niatku untuk bertanya pada ibu, namun aku tetap menyayanginya.
Rasa ingin tahuku tentang ayah kembali muncul saat guru bhasa indonesiaku meminta seluruh murid dalam kelas menulis esai tentang ayah. Tugas itu wajib dikumpul minggu depan. Tapi, bagaimana aku mampu menulis tentang ayah, sedangkan aku tak tahu tentangnya.
Akhirnya malam itu aku beranikan diri bertanya pada ibu,
"Ibu, ayah kemana sih? Kok sejak kecil lusi nggak pernah tahu wajah ayah. Ibu punya fotonya nggak?"
Bukan jawaban yang kudapat, malah amarah yang dilampiaskan pada album lusuh yang dilempar ke kepalaku, sakit.
"Itu ayahmu,dia sekarang menikah dengan orang Taiwan. Meninggalkan ibu tanpa kata cerai pada saat mengandungmu 7 bulan. Coba pikir,ibu harus membanting tulang untuk menghidupimu sendiri."
Aku menangis menahan rasa sakit karena lemparan album lusuh itu yang udekap, dan kubawa masuk kamar kulirik ibu di ruang tamu yang terduduk lemas sambil menangis tersedu. Kututup pintu kamar, ku buka perlahan album itu, foto-fotoku pernikahan melekat disana, foto seorang lelaki kurus tengah memeluk mesra ibuku yang bagai seorang putri duduk di singgasana.
"Itu pasti ayah." pikirku.
Kumpulan foto-fotoku saat masih bayi juga menjadi bagian dalam album itu, namun ada satu foto yang membuatku menitikkan airmataku kembali. Laki-laki kurus yang pada halaman pertama memeluk ibuku, kini berganti mencium seorang wanita keturunan cina dengan balutan gaun putih. USiaku memang masih belia tapi aku seolah tahu bagaimana perasaan ibu.
Kubuka perlahan pintu kamar, kuhampiri ibu yang masih dalam keadan menangis tersedu, aku memeluknya.
" Ibu, maafin Lusi. Lusi janji nggak akan tanya bahkan nyebut tentang ayah lagi. Orang tua Lusi cuma ibu. Lusi sayang ibu"
"Lusi, maafin ibu sayang." Ibu kembali tersedu.
**
Senin,20 oktober 2003.
hari mengumpulan esai tiba. Bu Winarti, guru bahasa indonesia dikelas kami mengabsen satu persatu sesuai urutan abjad.
Teman-temanku pun secara berurutan menceritakan ayah mereka masing-masing dengan penuh rasa bahagia. Ada yang bercerita pernah dibelikan boneka baru, mobil-mobil remot kontrol model terbaru, diajak jalan-jalan ke kota, dan masih banyak cerita bahagia lainnya. Rasanya kelas kami pagi itu seperti berbackground pelangi, begitu kaya warna yang terang.
Tibalah kini giliranku urutan ke 17. Kubuka buku tulis dodo yang berwarna buluk milikku, kutarik nafas, kemudian kubacakan esaiku.
*AYAH*
"Ayah, aku tak tahu siapa dia, dimana rumahnya serta bagaimana kabarnya.
Dan akupun tak ingin tahu tentangnya.
Kata orang ayah itu kuat, tapi bagiku ibu lebih kuat. Bagaimana tidak, ibu mampu membesarkanku seorang diri, ibuku adalah ayahku.
Kata orang ayahlah yang sering membelikan kita mainan, siapa bilang. Sebulan lalu aku dibelikan ibu boneka barbie baru, meski sebekumnya aku harus dipukul karena main ke rumah ayu sampe magrib, hanya untuk main boneka barbie.
Ibu memang sering memukul, tapi ibu tidak jahat. Ibu hanya ingin mendidik lusi menjadi disiplin dan tahu waktu ketika main.
Tak banyak yang kutahu tentang ayah, jadi tak banyak pula yang harus kutulis.
tapi, jika nanti ada esai lagi dan temanya tentang ibu, pasti akan aku tulis berlembar-lembar tentang ibuku. Ibuku adalah ayahku. "
Kuserahkan esayku pada bu Winarti, kulihat ibu guru menatapku tajam. Sebuah angka 10/10 ditulis beliau di bagian bawah esayku.
"Hore!! aku dapat sepuluh." Teriakku kegirangan.
Urutan pembacaan esai dilanjutkan, namun mata bu Winarti masih terus mengikuti aku, bahkan ketika aku dengan serius mendengarkan cerita Joko tentang ayahnya yang membelikannya sepeda baru, bu winarti masih terus memperhatikan aku. Entah apa yang ada dipikiran beliau saat itu, aku tak tahu.
##
Sepuluh tahun berlalu, kini aku menjelma menjadi gadis 21 tahun yang merantau ke negeri yang terkenal dengan sebutan formosa.ibuku menikah lagi dengan pak Wira, juragan beras di desa tuna raja, dan aku kini memiliki seorang kakak tiri laki-laki yang sangat menyayangiku, serta ibuku. Meski rahim ibuku diangkat sejak lima tahun lalu, tapi pak Wira tetap bersedia menikahi ibuku, meski ayah baruku itu harus siap menerima kenyataan bahea ibuku tidak bisa melahirkan lagi.
Ibuu pernah bertanya pada beliau,
"Pak, bapak yakin tidak akan menyesal?"
"Kenapa menyesal, bu? Tidak bisa mengandung bukan berarti tidak bisa menunaikan kewajiban sebagai istri,kan? Lagi pula, kita sudah memiliki dua anak yang begitu gagah dan cantik. Firman akan menjadi anak sulung sekaligus kakak yang baik dan akan melindungi kita semua, Lusi akan menjadi di bungsu yang patuh dan kelak akan mengurus kita dimasa renta, iya kan?" Jawab bapak malam itu.
Sungguh, kali ini aku memiliki keluarga yang utuh, aku memiliki ayah dan kakak yang begitu menyayangiku serta ibuku.
Ilusi maya, nama yang masih menjadi tanda tanya itu sekarang terpecahkan. 'Tipuan yang tidak nyata' itu ternyata adalah kabut pada kisah kami, kisah ibu yang ditinggalkan ayah, kisahku yang tak pernah tahu tentangnya. Kabut itu ternyata hanya tipuan, yang menyembunyikan kenyataan, kami akan bahagia disaat yang ditetukan Tuhan tiba. Kini, kami benar-benar berada pada masa dimana Tuhan telah mempersiapkan masa ini sebelumnya, Masa bahagia.
Kaohsiung city,08072015
Langganan:
Posting Komentar (Atom)

Tidak ada komentar:
Posting Komentar